Suku ku adalah Suku Rejang

Posted: Rabu, 07 Maret 2012 by Unknown in Label:
0

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu. Suku Rejang menyebar sampai ke daerah Lebong,Kepahiang, Curup dan sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Suku Rejang terbanyak menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, dan kabupaten Lebong. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya. Suku Rejang merupakan salah satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia
Rejang
Jumlah populasi

700.000 jiwa[1]

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Kepahiang Lebong Rejang Lebong Bengkulu Utara Bengkulu Tengah
Bahasa
Rejang
Indonesia
Melayu
Agama
Islam
Kelompok etnis terdekat
Suku Lembak
Suku Serawai
Suku Pasemah

Sejarah

Suku bangsa Rejang yang dewasa inibertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :

  1. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
  2. J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
  3. Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.

Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.

Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata. Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:

  1. Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
  2. Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
  3. Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
  4. Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.

Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.

  1. Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
  2. Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
  3. Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
  4. Biku Bermano menggantikan Ajai Malang

Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).

Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.

Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.

“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.

Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.

Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.

  1. “Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
  2. Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
  3. Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
  4. Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
  5. Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk

Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang. Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.

Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.

Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.

Sistem Kelembagaan Komunal/Adat

Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.

Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.

Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.

Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah. (team AMARTA: Salim Senawar, Erwin S Basrin, Madian Sapani, Henderi S Basrin, Sugianto Bahanan, Hadiyanto Kamal, Riza Omami, Bambang Yuroto).

Budaya

Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu, suku ini tidak adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan kultur masyarakat Rejang yang sulit untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan ini menjadi bukti keyakinan dan ketaatan mereka terhadap adat-istiadat yang berlaku sejak dahulu kala. Hal ini menggambarkan bahwa sejak zaman dahulu suku Rejang telah memiliki adat-istiadat. Karena mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak heran jika hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum denda terhadap pelaku zina. Pada zaman sekarang, sudah banyak putra-putri suku Rejang telah menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain-lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai pegawai negeri, pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang memiliki kehormatan menurut masyarakat modern pada era sekarang ini.

Bahasa

Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara (identik dengan dialek Rejang Curup), dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:

  • Dialek Rejang Kepahiang
  • Dialek Rejang Curup
  • Dialek Rejang Lebong

Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor jarak, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri. Hal ini juga membuktikan bahwa tingkat persatuan dan kesatuan suku Rejang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan suku bangsa terdekat lainnya suku Lembak, suku Serawai, dan suku Pasemah. Itu disebabkan karena suku Rejang bukan suku bangsa perantau sehingga tingkat kepemilikan tanah mereka tergolong tinggi, mereka masih mudah dipengaruhi devide et emperayang dilancarkan penjajah sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Pada zaman sekarang, politik pecah belah tersebut dilancarkan oleh golongan tertentu dengan tujuan yang relatif sama dengan penjajahan Hindia-Belanda.

Bahasa Rejang

Bahasa Rejang adalah bahasa yang digunakan di kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, kabupaten Lebong, dan kabupaten Kepahiang; semuanya termasuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu, Indonesia. Bahasa Rejang pernah memiliki aksara tersendiri yang dikenal sebagai aksara Kaganga. Aksara Kaganga menyerupai aksara yang ada pada aksara Batak dan aksara Lampung.

Bahasa Rejang terbagi dari tiga kelompok dialek, yakni dialek Rejang Curup, Rejang Kepahiang, dan Rejang Lebong. Dialek yang dituturkan di kabupaten Bengkulu Utara termasuk dialek Rejang Curup.

Kini bahasa Rejang dianggap satu bahasa yang membentuk kelompok tersendiri dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.

Macam-macam dialek bahasa Rejang

Kosakata

Bahasa Rejang memiliki variasi ataupun perbedaan menurut dialek yang dimiliki berdasarkan tiga kelompok dialek Rejang. Di bawah ini adalah beberapa kosakata dalam bahasa Rejang yang memiliki perbedaan antar kelompok dialek Rejang.

Bahasa IndonesiaDialek LebongDialek CurupDialek Kepahiang
mauloklaklak
nasimeimiemea
menikahbetunokbetunakbetunak
janganjibeakji’beakjikba
daratda'etda'etdahet
banyakdaudeudeu
cucukepaupeukepeu
pergialaualeualeu
lemalemealemalema
dusunsadeisadiesadea
marahmengiakmengeakmengeah
adaadeadeade
sendirisu'angsu'angsuhang
sarungso'ongso'ongsohong
tahitak toitak teitak tea
kepalaulauuleuuleu
badanawokawakawak
jariji’aiji’eijihei
matamataimateimatei
telingati'ukti'uktihuk
leherka’genka’genkahgen
lidahdileakdileakdileah
testislabaulabeulabeu
ketiakbea' gelpeakbea' gelpeakbeah gelpeah
bahuba’auba’eubaheu
bibirbibiabebeabibih
selangkangkerapangcakakcakak
peruttenaiteneitenea
tempoyakpuyokasemtepuyak
apajanejanoine
ulartedungedungnopoe
dodolpujuakpojoakglamai
topitudungtudungtuguk
lauklapenlapengulea
laki-lakisemanaisemaneisebong
perempuanselawieselaweibea

Perbedaan dialek bahasa Rejang

  1. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan ai; Rejang Curup membunyikan ei; Rejang Kepahiang membunyikan hei. Contoh: Lebong mengucapkan ji’ai – Curup mengucapkan ji’ei – Kepahiang mengucapkan jihei.
  2. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan eak; Rejang Curup membunyikan eak (sama dengan dialek Lebong); Rejang Kepahiang membunyikan eah. Contoh: Lebong mengucapkan seak – Curup mengucapkan seak – Kepahiang mengucapkan seah.
  3. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan au; Rejang Curup membunyikan eu; Rejang Kepahiang membunyikan eu (sama dengan dialek Curup). Contoh: Lebong mengucapkan dau – Curup mengucapkan deu – Kepahiang mengucapkan deu.
  4. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan ok; Rejang Curup membunyikan ak; Rejang Kepahiang membunyikan ak (sama dengan dialek Curup). Contoh: Lebong mengucapkan betunok – Curup mengucapkan betunak – Kepahiang mengucapkan betunak.

Perbedaan dialek juga terdapat dalam intonasi dalam berbicara. Bahasa Rejang Kepahiang terkesan keras dan kasar, bahasa Rejang Curup terkesan halus dan lembut, dan bahasa Rejang dialek Lebong terkesan lebih halus dan lebih lembut dari Rejang Curup. Dari warna dialek ketiga bahasa Rejang tersebut, secara nyata juga menggambarkan tradisi dan temperamen dari ketiga macam orang Rejang tersebut.

Aksara Kaganga

Aksara Kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra sebelah selatan. Aksara-aksara yang termasuk kelompok ini adalah antara lain aksara Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain.

Nama kaganga ini merujuk pada ketiga aksara pertama dan mengingatkan kita kepada urutan aksara di India.

Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull (Inggris) dalam buku Folk literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu.

Aksara Batak atau Surat Batak juga berkerabat dengan kelompok Surat Ulu akan tetapi urutannya berbeda. Diperkirakan zaman dahulu di seluruh pulau Sumatra dari Aceh di ujung utara sampai Lampung di ujung selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara Kaganga (Surat Ulu) ini. Tetapi di Aceh dan di daerah Sumatra Tengah (Minangkabau dan Riau), yang dipergunakan sejak lama adalah huruf Jawi.

Perbedaan utama antara aksara Surat Ulu dengan aksara Jawa ialah bahwa aksara Surat Ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara Jawa, dan sangat mudah untuk dipelajari .

Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.

Aksara Kaganga

Tari Kejei

Tari Kejei merupakan kesenian rakyat Rejang yang dilakukan pada setiap musim panen raya datang. Tarian tersebut dimainkan oleh para muda-mudi di pusat-pusat desa pada malam hari di tengah-tengah penerangan lampion.

Kekhasan tari ini adalah alat-alat musik pengiringnya terbuat dari bambu, seperti kulintang, seruling dan gong. Tarian dimainkan sekelompok orang yang membentuk lingkaran dengan berhadap-hadapan searah menyerupai jarum jam.

Tarian ini pertama kali dilaporkan oleh seorang pedagang Pasee, bernama Hassanuddin Al-Pasee yang berniaga ke Bengkulu pada tahun 1468. Tapi, ada pula keterangan dari Fhathahillah Al Pasee, yang pada tahun 1532 berkunjung ke Bengkulu.

Tari Kejei dipercaya sudah ada sebelum kedatangan para biku dari Majapahit. Sejak para biku datang, alat musiknya diganti dengan alat dari logam, seperti yang digunakan sampai saat ini. Acara kejei dilakukan dalam masa yang panjang, bisa sampai 9 bulan, 3 bulan, 15 hari atau 3 hari berturut-turut.

Tari ini adalah tarian sakral yang diyakini masyarakat mengandung nilai-nilai mistik, sehingga hanya dilaksanakan masyarakat Rejang Lebong dalam acara menyambut para biku, perkawinan dan adat marga. Pelaksanaan tari ini disertai pemotongan kerbau atau sapi sebagai syaratnya.

Salah satu tarian yang paling terkenal dan sakral adalah Tari Kejei. Kejei adalah salah satu kerja atau perhelatan/ acara besar yang di adakan oleh suatu keluarga dalam suku rejang, guna merayakan :Perkawinan “ kemtuk "

  • Perkawinan "kemtuk"
  • Khitanan “ Temtok Puguk “
  • Menindik “bedabung “
  • Melepas Hutang kata / Nazar, niat “ mpas sot sangei “

Tari KEJEI sepanjang sejarahnya telah ada di tanah rejang sebelum kedatangan para biku. Pada saat itu tarian ini diiringi dengan alat – alat instrumen sederhana yang terbuat dari bambu, yaitu bilah – bilah bambu sebagai kulintang, bambung betung besar berfungsi sebagai gong dan redap diambil dari kulit binatang yang telah dikeringkan serta bambu khusus untuk kelilu dan serdam.
Semenjak para biku dari majapahit datang ketanah rejang ,alat musik bekejei berubah mengunakan alat dari logam seperti yang digunakan sampai saat ini alat musik logam, konon pertama kali di gunakan pada abad ke 13 pada saat perayaan pernikahan Biku bermano dan putri senggang.
Tari kejei pada mulanya bernama Ta’ei jang , yang dipertunjukan pada tiap – tiap perhelatan besar, dikarenakan untuk menegak kejai memakan waktu cukup panjang.Menurut cerita ada kejei yang sampai 9 bulan, 3 bulan, 15 hari dan 3 hari dan harus memotong kerbau juga sapi.dikarenakan memerlukan proses yang lama dan tidak mudah dalam mengadakan dan mengucapnya maka timbullah kata “ KEJEI “ dan tarian kejei termasuk didalamnya.
Ketentuan adat dalam mengadakan Kejei :
1. Tuan rumah atau penyelenggara kejei atas nama marga. 2. Harus mengundang marga – marga lain, atau bukan dalam satu sumbai untuk menjadi pasangan tuan rumah dalam menari kejei. 3. Setiap warga tuan rumah harus melayani tau dari lain marga dengan sebaik- baiknya. 4. Dalam prosesi upacara harus memotong kerbau, sapi atau kambing. 5. Dilaksanakan minimal 3 hari 3 malam berturut-turut.
Tempat Menari “Balie kejei “
Balie kejei adalah tempat yang dibuat khusus untuk tempat pelaksanaan semua prosesi kejei. Balai Kejei pada zaman dahulu didirikan kurang lebih seminggu sebelum acara itu sendiri dimulai ,dibuat secara gotong royong oleh masyarakat sedusun, marga serta dusun & marga tetangga yang berdekatan.Ukuran balai 6 x 8 m atau 6 x 12 m.
Setelah balai kejei selesai didirikan, tugas diserahkan pada “tuwei batin” istilah dalah bahasa rejangnya “ semreak kumat” dan untuk bidang tugas diluar balai kejei diserahkan kepada ginde dusun/desa bersangkutan tempat Kejei diadakan .
Pada tiang tengah terdapat alat – alat upacara “ penei “Merupakan lambang kemakmuran , terdiri dari :
1. Pisang emas setandan. 2. Sirih beserta gagangnya. 3. Pinang beserta gagangnya. 4. Daun setawar beserta batangnya. 5. Daun sedingin beserta batangnya. 6. Buah kundur. 7. Tebu sebatang panjang. 8. Penyeluwang beserta batangnya. 9. Beronang tanjak “ pane tanjak “ 10. Teleng ( tampa ) 11. Ambin dogan atau selendang cele 12. Tombak “ kojoa “, pedang ,sewar atau keris sebagai lambang keamanan. 13. Payung agung sebagai lambang perlindungan, dan disusun diatas meja, pada meja terdapat :
a. Bakul sirih
b. Bueak minyak
c. Lampu damar kurun
d. Talam berisi beras & gula merah.
e. Perasapan dan sesajenan
f. Ayam jantan “ monok bi’ing”
Tari – tarian lain yang juga dipertunjukan dalam kejei :
1. Tari sambet. 2. Tari belawan. 3. Tari andak. 4. Tari Pinang berlapis. 5. Tari temu un diwo tojoak 6. Tari temu un diwo 9 7. Tari mendundang beneak 8. Tari sekejek, Tari untuk menggantikan penari dari satu marga kemarga lain, dilakukan oleh pria berpasangan dengan pria, wanita dengan wanita. 9. Tari kipas, Merupakan tarian hiburan untuk kedua mempelai, yang berada ditengah – tengah penari. Ditarikan oleh para gadis sebagai tari perpisahan. 10. Tari selendang, Tari ini juga sebagai tari selingan , ditarikan oleh para gadis. 11. Tari keris, Tari ini ditarikan oleh para gadis atau adik – adik dari mempelai wanita.
Gerakan dalam tari :
1. Gerakan tari dewa. 2. Gerakan lang layang. 3. Gerakan kelik menyusur angin . 4. Gerakan layang mandi embun 5. Gerakan ombak laut 6. Gerakan mendundang.
Arti dari gerakan tari dinamakan :
1. Sembah menari. 2. Bederap salah pinggang. 3. Metik jari. 4. Mateak dayung. 5. Stang. 6. Mendayung. 7. Sembah penyudo.
Nama dari lagu penggiring :
1. percak naik gunung. 2. kumbang ngarap bungo. 3. burung lating. 4. tupei melopat. 5. siamang balik bukit. 6. diwo temimang anak. 7. ulak batu sebuah.
Alat musik pengiring :
1. Kolintang jang, terdiri dari 5,7 sampai 12 buah. 2. 1 buah redap merambak cetung. 3. 1 buah Gong kecil gung kecupung gunung 4. 1 buah Gong besar gemutur umbak laut 5. Kelilu seruling si anak lumang 6. Serdam mengalun mutus tilei jatung.

Dikutip dari : http://id.wikipedia.org

0 komentar:

Anda Pengunjung My Blog Ke

Followers